EKSISTENSI DESA PANGGUL DALAM KACAMATA SEJARAH

Hesti Utami 01 November 2019 09:21:54 WIB

 

Panggul, 01 Nopember 2019“Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta.” demikian pesan sang sejarawan, Kuntowijoyo. Memang kehidupan manusia di dunia ini tidak terlepas dari sejarah. Antara masa sekarang dan masa lalu layaknya sisi mata uang logam yang tidak dapat terpisahkan. Apa yang saat ini kita rasakan merupakan buah dari serangkaian perjalanan jauh peristiwa masa lalu. Karena masing-masing individu adalah pelaku sejarah, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk jatuh cinta pada setiap peristiwa sejarah, bukan?

Pesan yang sangat mendalam terkait sejarah juga disampaikan oleh Bapak Proklamator kita, Bung Karno.  Beliau berpesan bahwa “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang.” Sejarah ternyata  memang bagian dari kehidupan yang penting untuk diabadikan. Save our heritage!

Salah satu peristiwa sejarah yang penting untuk diabadikan (red: diuri-uri)  adalah sejarah lokal desa atau asal mula sebuah desa. Setiap desa atau wilayah pastinya bukan hanya sekadar deretan rumah-rumah atau tumpukan batu yang bisu, juga bukan sebatas gugusan alam yang pasrah ketika dijarah. Tanah, gunung, bangunan, jalanan, nisan, sungai, dan apapun yang seolah terserak begitu saja. Semua itu bisa jadi memendam kisah masa lampau. Mereka bisa bercerita tentang masa lalu, baik yang riang maupun yang muram. Mereka akan berbicara sepanjang kita mengajak bercakap.

Berbicara tentang sejarah desa, maka tak lepas dari istilah Babat Alas. Istilah tersebut sudah tidak asing lagi di telinga kita sebagi orang Jawa. Babat dalam bahasa jawa berarti membabat atau membersihkan rerumputan atau tanaman lainnya dan Alas berarti hutan. Sebagai orang Jawa, saya ingin mencoba menguraikan makna tersirat dari istilah tersebut.

Sebelum ada penduduk yang tinggal di suatu desa, pastinya kehidupan belum dimulai.  Desa atau wilayah tersebut masih berupa hutan belantara. Nah, satu-satunya jalan agar hutan tersebut bisa dijadikan tempat tinggal adalah dengan cara dibabat. Sesorang yang pertama kali singgah di wilayah tersebut membersihkan rerumputan dan tanaman di tempat yang akan dijadikan rumah singgah.

Babat Alas juga terjadi di desa tempat tinggal saya, Desa Panggul. Namun, sebelum saya menuliskan kisah Babat Alas di Desa Panggul, terlebih dahulu saya ingin menuliskan asal mula nama Panggul itu sendiri.

Terdapat beragam versi cerita mengenai asal mula nama Desa Panggul yang berkembang di masyarakat. Saya menanyakan kepada beberapa narasumber, mereka juga menyampaikan dengan versi yang berbeda. Salah satu perangkat desa sekaligus sesepuh Desa Panggul, Bapak Khoirudin (10/09/2019) menyampaikan bahwa Desa Panggul bermula dari cerita pada jaman dahulu yang mengisahkan jika di suatu tempat ada pohon yang sangat besar. Anehnya setiap kali dahan (red: pang) dipotong, ia akan tumbuh lagi. Sehingga pang pohon tersebut dimaknai dengan pang yang unggul. Akhirnya kisah tersebut diberi nama “Panggul” yang berarti pang yang unggul.

Versi cerita yang lain bahwa Panggul berarti Panggonan sing Unggul, tempat yang memiliki kelebihan atau keunggulan. Ada yang mengatakan makna Panggonan sing Unggul berarti tempat yang berada di dataran tinggi.

Mengenai cerita asal mula Desa Panggul berawal dari sesorang tokoh yang melegenda di Desa panggul yaitu Mbah Panji Nawangkung. Beliau adalah sosok yang pertama kali berperan penting dalam Babat Alas Desa Panggul.

Alkisah, pada zaman dahulu Desa Panggul adalah hutan lebat, sejenis hutan Gambut. Menurut salah satu sejarawan desa, Bapak Slamet Budi Utomo (07/09/2019) dikatakan hutan Gambut karena sebagian besar hutan di Desa Panggul bercampur dengan rawa-rawa. Hutan tidak kering layaknya hutan pada umumnya, namun berair. Terdapat sebuah tempat di hutan tersebut yang lebih tinggi dan kering, sehingga sangat pas untuk dijadikan tempat bermukim. Tempat itulah yang pertama kali dibabat oleh Mbah Panji Nawangkung.

Menurut kisahnya, beliau merupakan utusan dari sebuah kerajaan di Ponorogo, yaitu Kerajaan Wengker. Mbah Panji Nawangkung sebenarnya tidak punya niat sedikit pun pergi ke Desa Panggul dan ingin singgah di Panggul untuk melangsungkan kehidupan di sini. Namun semata-mata beliau ingin mencari kehidupan yang lebih baik dimanapun tempatnya.

Saya tidak mengira bahwa perjalanan beliau yang sangat jauh ditempuh tanpa alat transportasi apapun. Mbah Panji melakukan perjalanan dengan jalan kaki menyusuri sungai. Tempat singgah pertama kali beliau berada di di desa Sawahan, tepatnya di dukuh Nginjen. Desa Sawahan berjarak kurang lebih 8 km dari Desa Panggul. Di dukuh tersebut beliau menganggap bahwa tempat itu sangat pas jika dipakai untuk melangsungkan kehidupan. Mbah Panji cukup lama bermukim di Dukuh Nginjen. Bahkan beliau sempat membuat sebuah sampan untuk moda tranportasi jika sewaktu-waktu ingin dipakai bepergian.

Pada suatu hari pergilah beliau menyusuri sungai menggunakan sampan buatannya dan berhenti di Desa Panggul. Karena sebagian besar hutan di Pangggul mengandung air, jadi sangat sulit jika ingin melakukan proses kehidupan di situ. Mbah Panji menemukan salah satu tempat yang menurut beliau berbeda dari area yang lain. Lokasinya kering dan datarannya lebih tinggi, serta sangat cocok untuk dijadikan  tempat tinggal. Akhirnya Mbah Panji melakukan Babat Alas di lokasi tersebut.

“Sebuah tempat strategis yang pertama kali dibabat oleh Mbah Panji Nawangkung berada di dukuh Nggedong, dusun Kebonagung, Desa Panggul. Hingga sekarang dukuh Nggedong memang lokasinya lebih tinggi dari tempat-tempat lainnya di Desa Panggul. Di situlah Mbah Panji bersinggah. Lokasinya yang sangat dekat sungai membuat sumber kehidupan menjadi lebih mudah. Mbah Panji mendapatkan sumber pangan dari sungai dan hasil panen dari sepetak demi sepetak sawah yang ditanami Padi ”, terang Slamet Budi Utomo.

Lama kelamaan kehidupan bermasyarakat di dukuh Nggedong dan tempat di sekitarnya mulai berkembang. Dan Dukuh Nggedong pun menjadi pusat pemerintahan pada era Mbah Panji Nawangkung. Menurut salah satu tokoh masyarakat menerangkan bahwa setelah kehidupan di Desa Panggul, khususnya di dukuh Nggedong mulai berkembang. Namun, tidak berselang lama kehidupan hangus akibat perang perebutan kekuasaan. Kehidupan era Mbah Panji Nawangkung akhirnya berakhir.

Oh iya, konon perang perebutan kekuasaan pada era Mbah Panji Nawangkung terjadi karena tidak terima jika wilayah Panggul masuk kekuasaan Pacitan. Karena Mbah Panji Nawangkung adalah seorang utusan kerajaan Wengker dari Ponorogo tentunya Panggul otomatis berada di bawah kekuasaan Ponorogo. Pertempuran pun akhirnya terjadi.

Kisah tentang berakhirnya era Mbah Panji Nawangkung memang tidak begitu jelas dikisahkan. Beberapa narasumber mengungkapkan kisah tersebut dengan beragam versi cerita. Sejarah tersebut akhirnya mati. Seolah-olah kisah tersebut memang ditabukan, tak banyak yang tahu detail ceritanya. Bahkan juru kunci makam Panji Nawangkung, Mbah Rosyidin ketika ditanya juga tidak begitu gamblang menjelaskan detail ceritanya. Memang sangat tidak mungkin dalam suatu desa tidak ada saksi sejarah. Kemungkinan besar para saksi sejarah di jaman  tersebut sangat jarang menceritakannya kepada anak cucu, sehingga detail cerita terputus begitu saja.

Sebagai bukti sejarah, makam Mbah Panjinawangkung yang berada di dukuh Nggedong, Desa Panggul masih dirawat dan dilestarikan hingga sekarang. Bahkan pemerintah Desa Panggul berencana membugar makam Mbah Panji agar bisa dijadikan wisata religi.

Saya menemukan sebuah situs wikipedia yang menceritakan tentang wilayah kekuasaan dan sejarah singkat pemerintahan di Panggul. Namun cerita bermula saat adanya Perjanjian Gianti pada tahun 1756. Tahun tersebut kiranya sudah menunjukkan jika wilayah kekuasaan teruangkap beberapa abad setelah era Mbah Panji Nawangkung. Dalam Perjanjian Gianti dinyatakan bahwa  wilayah Panggul berada di bawah Kesultanan Yogyakarta dan masuk wilayah kekuasaan Bupati Pacitan.

Saya ingin mencoba menyimpulkan cerita yang saya dapat dari narasumber. Kenapa Panggul berada di bawah Kesultanan Yogyakarta? Saya mendapat cerita dari seorang narasumber bahwa Mbah Panji Nawangkung mempunyai seorang anak yang sangat cantik, bernama Nitisari Gepoksari. Anak Mbah Panji Tersebut diperistri oleh Sultan Hamengkubuwono I, seorang keturunan kesultanan Yoyakarta. Itulah mengapa Panggul berada di bawah Kesultanan Yogyakarta.

Setelah adanya perjanjian Gianti, tahun 1812 Inggris berkuasa di Pulau Jawa. Akibatnya Pacitan (Panggul termasuk di dalamnya) berada di bawah kekuasaan Inggris, bukan lagi Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1916, Belanda berkuasa di Pulau Jawa, akhirnya Pacitan (termasuk Panggul) yang semula berada di bawah kekuasaan Inggris, diserahkan kepada Belanda.

Panggul baru menemukan jati dirinya setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950. Akhirnya Panggul menjadi bagian dari Kabupaten Trenggalek dan dijadikan sebagai salah satu daerah kecamatan di Kabupaten Trenggalek dalam Tata Administrasi Pemerintah Republik Indonesia. Dari uraian tersebut sangat gamblang bahwa Panggul punya kisah sejarah panjang hingga pada akhirnya berada pada kata merdeka.

Tidak hanya Mbah Panji Nawangkung, sosok lain yang punya peran penting dalam merintis perkembangan kehidupan di Desa Panggul adalah Mbah Imam Rifai. ...

Setelah melewati sejarah yang begitu panjang, kini Desa Panggul terus mengalami perkembangan baik dari segi ekonomi,sarana dan prasarana, pendidikan, dll. Desa yang mempunya luas wilayah 399,174 ha ini

Mendengar pemaparan yang luar biasa dari sosok sejarawan desa tentang Mbah Panji Nawangkung, saya seketika bernapas panjang. Saya begitu kagum dengan proses perjuangan panjang beliau demi hidupnya sebuah desa dan kini telah menjadi desa yang luar biasa dengan segenap potensi lokal yang sangat mendukung bagi kehidupan desa yang sejahtera.

 

 

PROFIL SINGKAT PENULIS

Eka Sutarmi, lahir di Trenggalek, 06 Desember 1994. tinggal di Rt. 07 Rw. 02 Dusun Kebonagung Desa Panggul, Kec. Panggul. Perempuan lulusan IAIN Tulungagung ini tengah mengabdikan di salah satu  instansi pendidikan di Kecamatan Panggul, yaitu SMK Negeri 1 Panggul. Menulis adalah hobinya dan ia telah menerbitkan satu buku solo (Seuntai Kenangan dari Negeri Gajah Putih, Akedemia Pustaka: 2015) dan beberapa buku antologi. Penulis juga aktif mengirimkan tulisannya di beberapa media, salah satunya koran Harian Surya. Untuk lebih jauhnya bisa menghubungi penulis via email ekasutarmi@gmail.com atau no WA: 082189050314.

 

Komentar atas EKSISTENSI DESA PANGGUL DALAM KACAMATA SEJARAH

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
 

Layanan Mandiri


Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.

Masukkan NIK dan PIN!

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah pengunjung

Lokasi PANGGUL

tampilkan dalam peta lebih besar